Diskriminasi ekonomi dalam sektor air minum perkotaan —Seri Potret Air Minum di Perkotaan

Anindrya N

Ketika saya masih kecil, saya tinggal di sebuah rumah dinas di daerah perbatasan antara Lembang dan Bandung. Kami dulu sering sekali mengalami kesulitan air. Di malam hari, ayah saya membawa kami sekeluarga -bersama ibu dan adik saya yang masih balita, berkendara sambil membawa jerigen dengan mobil bak terbuka untuk mengambil air di reservoir PDAM. Ayah dan ibu saya lalu mengisi jerigen-jerigen kami dengan air, cukup untuk persediaan selama 3 hari sampai kami harus kembali lagi. Kami memang punya sambungan pipa PDAM, tapi seringkali airnya mati sehingga satu-satunya cara untuk mendapatkan air adalah dengan mengambilnya sendiri dengan jerigen.

Tiga puluh tahun kemudian, sebagai ibu dari dua anak dengan pendapatan kelas menengah yang tinggal di daerah pinggiran kota metropolitan Bandung, mendapatkan air bukan hanya lagi soal bangun malam dan mengambil air di tempat yang jauh. Air bisa didapatkan jika saya, dan jutaan keluarga menengah ke bawah lainnya, memiliki cukup uang untuk memasang sambungan PDAM, itu pun jika sambungan PDAM sampai ke daerah tempat tinggal. Jika tidak ada PDAM, maka pilihannya adalah membuat sumur bor yang biayanya bisa mencapai dua puluh juta rupiah, belum lagi biaya listrik yang harus dikeluarkan untuk menjalankan pompa untuk menyedot air dari kedalaman 30-60 meter di bawah permukaan tanah. Jika tidak mampu berinvestasi untuk membuat sumur bor dan membeli pompa, air harus dibeli eceran, dengan harga yang bisa mencapai 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan dengan harga air PDAM.

Dewasa ini, narasi mengenai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menjadi dominan dalam berbagai sektor, termasuk sektor air minum perkotaan. Pada tahun  2030, TPB menyebutkan bahwa akses universal terhadap air minum yang aman dan setara harus tercapai. Setara berarti bahwa baik keluarga miskin atau kaya harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh akses terhadap air minum. Setara (dan kesempatan yang sama) juga berarti bahwa air harus terjangkau secara ekonomi bahkan bagi kalangan termiskin sekalipun. Tidak boleh ada kebutuhan dasar yang dikorbankan untuk membeli air bagi orang miskin. Dengan kata lain, tidak boleh ada diskriminasi dalam penyediaan air.

Namun ide kesetaraan masih merupakan ide yang bersifat utopia di daerah perkotaan di Indonesia. Di DAS Cikapundung, Kota Bandung, proporsi akses air perpipaan PDAM pada rumah tangga menengah ke atas tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga ekonomi rendah. Rumah tangga ekonomi rendah dipaksa bergantung kepada air tanah dan mata air, yang semakin tercemar kualitasnya dan menurun kuantitasnya. Tidak ada pedagang air eceran gerobak yang berjualan di daerah tersebut karena fitur muka tanah yang sulit diakses oleh gerobak.

Itu baru soal akses. Di beberapa daerah di Bandung dan Jakarta, masyarakat miskin mengeluarkan uang lebih banyak secara proporsional terhadap penghasilan mereka karena masyarakat miskin harus membeli air eceran. Di Cikapundung, tidak ada pedagang air eceran, dan akibatnya memang masyarakat miskin mengeluarkan air lebih sedikit baik secara absolut maupun secara relatif terhadap penghasilan. Namun, hanya ada sedikit pilihan bagi masyarakat miskin yang tidak mendapatkan akses air: menggunakan air yang tercemar dengan berbagai risiko kesehatan yang ditimbulkan, mengurangi pemakaian air hingga mengorbankan kebutuhan higiene yang lagi-lagi menimbulkan dampak kesehatan, dan mengorbankan waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dipakai untuk kegiatan produktif alih-alih mengambil air.

Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 2016 menyebutkan bahwa penetapan tarif untuk standar kebutuhan pokok air minum tidak boleh melampaui 4% dari pendapatan masyarakat.  Berbeda dengann di negara lain dimana akses universal terhadap air minum perpipaan sudah tercapai, di Indonesia, menghitung biaya yang dikeluarkan untuk air tidak selalu sederhana. Sebuah penelitian di Cikapundung memperlihatkan bahwa masyarakat tidak hanya mengeluarkan biaya untuk membayar tagihan PDAM, namun juga biaya untuk berbagai strategi skala rumah tangga dalam bertahan menghadapi kualitas dan kuantitas air yang tidak memadai. Bukan rahasia umum jika air PDAM seringkali tidak kontinyu selama tujuh hari dalam seminggu. Masyarakat terpaksa melakukan berbagai strategi mitigasi seperti menggunakan sumur bor.  Strategi-strategi mitigasi ini memerlukan biaya yang diperkirakan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan tagihan air rumah tangga per bulan. Oleh karena itu, kualitas dan kuantitas air yang belum memadai menjadikan masyarakat dikenai biaya mitigasi “tersembunyi” yang kerap tidak disadari dan menjadikan air menjadi tidak “terjangkau” sebagaimana dimandatkan oleh Permendagri di atas.

Demikianlah, air bukan lagi menjadi tantangan fisik dimana seseorang harus berkendara atau berjalan mengambil air di dalam jerigen-jerigen seperti ketika saya berusia lima tahun. Namun, air kini menjadi sebuah tantangan finansial yang harus mendapatkan perhatian, khususnya bagi rumah tangga miskin dimana pengeluaran untuk air akan berkompetisi dengan pengeluaran untuk kebutuhan dasar lainnya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: