Firdha Laila Amalia. Program Studi Master Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung .
Perception is reality. If you are perceived to be something, you might as well be it because that’s the truth in people’s minds. (Steve Young)
Seiring meningkatnya kebutuhan penggunaan air dan menipisnya cadangan air di alam, daur ulang air merupakan salah satu solusi yang muncul pada abad ini. Banyak negara mulai melirik potensi daur ulang air limbah menjadi air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan beberapa negara lainnya sudah mengaplikasikannya dalam berbagai tahapan penggunaan. Meskipun aspek teknologi daur ulang air telah berkembang pesat, nampaknya potensi penggunaan air daur ulang secara massal oleh masyarakat belum optimal. Penggunaan air daur ulang hanya berkisar pada fungsi flushing dan penyiraman tanaman. Belum banyak pelaku daur ulang air limbah yang menggunakan air tersebut untuk air minum atau air keperluan sehari-hari. Padahal, banyak negara telah mengatur baku mutu kualitas air daur ulang secara ketat. Harga jual air daur ulang juga umumnya diatur lebih rendah dibanding air minum agar masyarakat tertarik untuk menggunakan.
Keadaan ini terjadi akibat pilihan dan persepsi masyarakat terhadap air daur ulang. Informasi yang terbatas mengenai kualitas air hasil daur ulang dan harga air daur ulang yang umumnya lebih rendah dibanding air bersih memberikan sinyal bahwa air daur ulang lebih inferior dibandingkan air bersih biasa bagi sebagian orang. Persepsi ini kemudian memengaruhi kemauan untuk menggunakan air daur ulang, penilaian pribadi mengenai harga dan kegunaan air daur ulang, serta kemauan untuk membayar air daur ulang. Dengan begitu, persepsi abstrak manusia pada akhirnya akan dapat memengaruhi bahkan membatasi harga jual suatu komoditi.
Berdasarkan survey yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 2000 responden, sekitar 13% mengatakan tidak ingin mencoba menggunakan air daur ulang, 49% bersedia mencoba, dan 38% merasa tidak yakin untuk mencoba (Rozin dkk., 2015). Rasa jijik dan ketakutan akan kontaminan yang masih ada dalam air menjadi alasan konsumen tidak mau menggunakan air daur ulang meskipun, pada kenyataannya, kualitas air daur ulang lebih tinggi dibanding air perpipaanataupun air kemasan. Responden lebih memilih untuk menggunakan tap water atau air kemasan dibandingkan air daur ulang. Anggapan lain yang hadir adalah tidak ada pengolahan yang dapat menjadikan air limbah layak untuk diminum. Informasi yang kurang, citra air limbah dan air daur ulang di mata masyarakat, serta ketakutan akan penyakit menjadi dasar persepsi yang memengaruhi penolakan penggunaan air daur ulang. Di Australia, masyarakat bersedia menggunakan air daur ulang namun mereka memposisikan air daur ulang sebagai air yang inferior dibanding air tanah (Kracman dkk., 2001). Persepsi-persepsi inilah yang kemudian memengaruhi kemauan untuk membayar masyarakat terhadap air daur ulang. Temuan ini didukung oleh Pricing for Recycled Water (Water Services Associaton of Australia, 2005) yang mengatakan bahwa persepsi masyarakat dan konsumen memengaruhi kemauan untuk membayar atau bahkan menggunakan air daur ulang.
Dengan permintaanakan air daur ulang yang masih terbatas, persepsi masyarakat dan konsumen kemudian menjadi faktor penting dalam penentuan harga jual air daur ulang. Akibat persepsi bahwa tap water ataupun air tanah lebih baik dibandingkan dengan air daur ulang, maka harga jual tap water atau air tanahmenjadi dasar penentuan harga jual air daur ulang. Harga jual air daur ulang diproyeksikan akan berada di bawah atau maksimal setara dengan tap water untuk kegunaan yang sama agar dapat menarik masyarakat dari sisi ekonomi. Padahal, teknologi pengolahan air daur ulang lebih rumit dibanding tap water, dan dengan standar yang sama atau bahkan lebih ketat. Keadaan ini menghadirkan dua pilihan sulit untuk penyedia air daur ulang, yaitu meningkatkan pengolahan untuk menghasilkan air dengan kualitas yang lebih baik dalam upaya mengubah persepsi masyarakat, namun berakibat kenaikan harga jual, atau menurunkan harga untuk menarik lebih banyak konsumen.
Jika persepsi akan air daur ulang ini berlangsung dalam waktu yang lama dan tidak mengalami perkembangan, permintaan akan air daur ulang akan semakin turun, perkembangan teknologi pengolahan air daur ulang untuk kebutuhan masyarakat di masa depan pun akan mandek. Padahal, air daur ulang bisa menjadi potensi air baku air minum dan air bersih dengan kuantitas yang besar dan tidak akan pernah habis. Di masa depan, kelangkaan air bersih bisa dipastikan akan terjadi. Oleh karena itu, pergeseran persepsi masyarakat akan kualitas air daur ulang perlu dimulai agar pengunaan air daur ulang dapat semakin meningkat, teknologi pengolahan air daur ulang dapat terus berkembang, dan harga jual air daur ulang dapat semakin kompetitif.
REFERENSI
Haddad, B., Rozin, P., Nemeroff, C., dan Slovic, P. 2009. The Psychology of Water Reclamatian and Reuse. Virgnia: Water Reuse Foundation.
Kracman, B., Martin, R., Sztajnbok, P (2001), The Virginia Pipeline: Australia’s largest water recycling project, Water Sci. Technol., 43, 35-42.
Rozin, P., Haddad, B., Nemeroff, C., dan Slovic, P. (2015), Psychological Aspect of The Rejection of Recycled Water: Contaminantion, Purification and Disgust, Judgment and Decision Making, 10, 50-63
Wester, J., K. R. Timpano, D. C¸ek, dan K. Broad (2016), The psychology of recycled water: Factors predicting disgust and willingness to use, Water Resour. Res., 52, 3212-3226.
Zieburtz, W., Coopersmith, M., dan Burnham, A. 2019. Water Reuse Cost Allocations and Pricing Survey. Denver: American Water Works Association.