Modal Sosial Sebagai Kunci Keberlanjutan Program Sanitasi Skala Permukiman di Kawasan Urban dan Periurban

Sanifa Fatma Putri, Program Studi Rekayasa Infrastruktur Lingkungan, Institut Teknologi Bandung

Tingginya tingkat urbanisasi dan kemiskinan menyebabkan munculnya permukiman kumuh dengan pembangunan yang tidak terkendali di kawasan pinggiran metropolitan. Permukiman informal dengan karakteristik kepadatan penduduk yang tinggi dengan kepemilikan lahan yang tidak pasti serta masalah lingkungan dan sosial-ekonomi yang cukup tinggi menyebabkan pemenuhan akses sanitasi menjadi lebih sulit dan kompleks. Pilihan pemenuhan akses sanitasi skala permukiman (on-site sanitation) guna percepatan akses sanitasi memiliki tantangan tersendiri dalam keberlanjutan pelayanan. Secara kelembagaan, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keberlanjutan sistem sanitasi skala permukiman. Namun, sebatas mengandalkan partisipasi masyarakat sebagai tulang punggung keberlanjutan program sanitasi, sangat rentan akan kegagalan. Memperkokoh modal sosial melalui kepastian regulasi, pendampingan berkelanjutan, serta keberlanjutan finansial adalah kunci keberlanjutan program sanitasi skala permukiman di kawasan urban dan periurban.

Kawasan urban dan periurban hadir sebagai dampak kebutuhan permukiman seiring dengan meningkatnya kepadatan pusat kota akibat urbanisasi. Robert (2019) dalam buku Time to ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potential menjelaskan, 70% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Masalah muncul karena peningkatan urbanisasi yang cepat tersebut tidak diiringi dengan peningkatan ketersediaan infrastruktur dan layanan dasar. Pada laporan yang sama, Robert (2019) menyatakan kenaikan 1% urbanisasi di Indonesia hanya mampu mengungkit 1,4% PDB perkapita. Daya ungkit tersebut jauh lebih kecil dibandingkan China di mana setiap 1% kenaikan urbanisasi mempu meningkatkan PDB per kapita hingga 3%. Sementara di Kawasan Asia Pasifik dan Timur, kenaikan 1% urbanisasi rata-rata menaikkan PDB per kapita sebesar 2,7%. Akibatnya, urbanisasi di Indonesia kerap dianggap beban ketimbang sebagai asset yang berpotensi mendukung pertumbuhan ekonomi.

Sistem sanitasi skala permukiman adalah sistem sanitasi berbasis masyarakat dimana masyarakat dilibatkan sebagai pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan. Di negara berkembang dengan daerah perkotaan yang padat penduduk, program sanitasi skala permukiman merupakan andalan dalam upaya mencapai akses universal. Keunggulan sarana sanitasi skala permukiman adalah kemampuan pelayanan yang lebih efisien dari sistem individu. Sanitasi skala permukiman berperan sebagai sistem perantara antara sistem individu ke sistem yang lebih besar yaitu sistem perkotaan.

Program Pemerintah Pusat Indonesia terkait pemenuhan akses sanitasi skala permukiman dengan karakteristik utama pemberdayaan masyarakat adalah PAMSIMAS (Program Nasional-Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), SANIMAS sebagai program pendukung PNPM-Mandiri, P2KP (Program Peningkatan Kualitas Permukiman), dan KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) dari Kementerian PUPR yang saat ini masih berjalan. Program-program tersebut merupakan pelayanan sanitasi yang beorientasi pada kebutuhan konsumen. Pendekatan modal sosial di mana masyarakat terlibat secara signifikan dalam pengambilan keputusan dan memiliki tingkat kontrol yang tinggi atas hasil proyek dan keberlanjutannya merupakan tulang punggung dari program-program ini. Program semacam ini banyak diterapkan di negara-negara berkembang seperti India, Nepal, Bangladesh, Zambia dan Indonesia (Christoph: 2011).

Menurut Kementerian PUPR (2016), dari sudut pandang kelembagaan, sistem sanitasi skala permukiman seperti KOTAKU dan SANIMAS dikelola oleh kelompok masyarakat (Kelompok Pengguna dan Pemanfaat KSM/KPP). Tantangan terbesar keberlanjutan program sanitasi skala permukiman adalah seberapa siap masyarakat setempat mengelola akses sanitasi yang dibangun. Oleh karena itu, melibatkan secara penuh masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan, baik sebelum konstruksi, saat konstruksi, maupun pasca konstruksi akses sanitasi skala kawasan menjadi sangat sangat penting.

Christoph Luthi bersama lembaga terkait seperti Eawag-Sandec, WSSCC (Water Supply and Sanitation Collaborative Council), dan UN-HABITAT (United Nations Human Settlements Programme) meluncurkan Modul Community-Led Urban Environmental Sanitation Planning atau CLUES sebagai metode pendekatan perencanaan sanitasi untuk kawasan urban dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat lokal dengan modal sosial sebagai pelaku utama. Menurut Christoph, ada enam elemen yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan sanitasi CLUES antara lain: dukungan pemerintah baik pemerintah pusat dalam rancangan pembangunan nasional maupun pemerintah daerah; kerangka hukum dan peraturan; manajemen kelembagaan meliputi kolaborasi multisektoral; keterampilan dan kapasitas masyarakat lokal dalam mengelola pelayanan sanitasi; manajemen finansial; serta pertimbangan unsur sosial-budaya.

Kegagalan program sanitasi skala permukiman disebabkan lemahnya elemen-elemen tersebut baik pada saat perencaan teknis maupun lemahnya manajemen pelayanan pasca konstruksi. Walaupun secara kelembagaan program sanitasi skala permukiman menjadi tanggung jawab kelompok masyarakat dengan mengandalkan modal sosial, keberlanjutan program sanitasi tersebut masih harus diperkokoh dengan pendampingan berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat harus didukung dengan regulasi yang jelas dan aksesibilitas serta keberlanjutan finansial. Lima faktor dasar keberlanjutan sarana sanitasi skala permukiman menurut Kementerian PUPR (2016) adalah penyiapan masyarakat dilakukan dengan benar, sistem harus dibangun dengan benar, kelembagaan pengelola harus berjalan, iuran disepakati dan berjalan, pembinaan oleh pemda juga sangat penting. Membangun kesepakatan kerjasama antara UPTD, BLUD, atau PD dengan KSM/KPP sangat potensial untuk menjamin keberlanjutan program sanitasi skala kawasan. Sebagai contoh, kesepakatan antara kelompok masyarakat dengan pemerintah daerah Kota Makassar berhasil mendukung keberlanjutan program sanitasi skala kawasan (Kementerian PUPR: 2016).

Keberlanjutan program sanitasi skala permukiman tidak bisa hanya sebatas mengandalkan modal sosial. Partisipasi masyarakat harus diperkokoh dengan regulasi yang jelas, pendampingan bekelanjutan dan aksesibilitas dan keberlanjutan finansial. Agar  KSM/KPP dapat mengelola sarana dan pelayanan sanitasi yang berkelanjutan maka penyiapan masyarakat baik dalam kelembagaan maupun sistem finansial, harus dilakukan dengan benar. Kepastian regulasi dengan ditetapkannya program kedalam kerangka hukum dan peraturan serta kerja sama sektor lokal dengan pemda merupakan kunci keberhasilan program sanitasi skala kawasan.

REFERENSI

Roberts, Mark, Gil Sander, Frederico, Tiwari, Sailesh. 2019. Time to ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potential. Washington, DC: World Bank.

Lüthi, Christoph et al, 2011. Community-Led Urban Environmental Sanitation Planning (CLUES). Switzerland: Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology (Eawag)

Kementeriaan PUPR Dirjen Cipta Karya. 2016. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik- Terpusat Skala Permukiman. Jakarta: Kementerian PUPR.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: